13 Juli, 2010

TEORI-TEORI TRANSFORMASI SOSIAL


 Teori-teori Transformasi Sosial


Semua orang bersepakat bahwa kehidupan sosial tidaklah statis, melainkan selalu berubah secara dinamis. Tapi, tidak semua orang mempunyai kesepakatan sama dalam mengartikan perubahan social (transformasi social). Malah, konsep perubahan sosial sempat diberi makna intuitif dan sebagai suatu mitos[1] belaka. Dalam perkembangannya pun para ahli memperlihatkan perbedaan dalam memahami perubahan sosial. Pemaknaan konsep perubahan sosial kelihatannya masih problematik hingga kini.[2]
Di antara sekian banyak fenomena sosial yang menjadi orientasi analisis sosiologi, fenomena perubahan sosial barangkali termasuk yang paling sulit dipahami. Adalah wajar jika kemudian banyak terjadi silang pendapat yang controversial dan spekulatif. Perbedaan ini terutama berkisar pada persoalan “formal” yang antara lain mencakup dua persoalan pokok : (1) logika terjadinya perubahan sosial; dan (2) apakah perubahan sosial berkaitan dengan dimensi ruang dan waktu tertentu?.[3]
Bersumber pada perbedaan orientasi formal di atas, maka kemudian berkembang berbagai pendapat yang berbeda di antara sosiolog dalam melihat orientasi analisis dan tema substantif perubahan sosial. Perbedaan-perbedaan itu biasanya bersumber dari perbedaan asumsi dasar dalam melihat masyarakat. Mislnya, ada yang memandang masyarakat merupakan sesuatu yang life dan k arena itu pastilah berkembang dan kemudian berubah. Karena itu, kajian utama perubahan sosial mestinya juga menyangkut keseluruhan aspek kehidupan masyarakat atau harus meliputi semua fenomena sosial yang menjadi kajian sosiologi. Cara pandang demikian mengindikasikann bahwa perubahan sosial mengandung perubahan dalam tiga dimensi :  structural, cultural, dan interaksional. Jadi, orang baru bisa menyebut telah terjadi perubahan sosial manakala telah dan sedang terjadi perubahan pada ketiga dimensi dimaksud. Atau, singkatnya, perubahan sosial tidak lain merupakan perubahan dalam system sosial.[4]
Pendapat pertama di atas banyak dikritik karena dianggap terlalu luas, sehingga dirasa akan mengalami kesulitan melakukan analisis yang baik dan mendalam. Untuk itu, pengkritik mengajukan pendapat, bahwa orientasi kajian perubahan sosial harus berbatas jelas sehingga lebih mudah memahaminya. Karena itu, analisis tentang fenomena perubahan sosial hanya dilakukan dalam kaitannya dengan perubahan yang terjadi dalam organisasi sosial.[5]
Sementara itu, ada pula sosilog lain yang lebih tertarik menganalisis fenomena perubahan sosial sejauh fenomena itu bisa diamati (diukur), seperti mobilitas sosial (tenaga kerja), komposisi penduduk, perubahan system pemerintahan, dan seterusnya. Ada pula sosiolog yang memakai konsep perubahan sosial untuk menyatakan perubahan penting yang terjadi dalam keseluruhan struktur sosial juga mengartiakn perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting dalam struktur sosial __ pola-pola perilaku dan system interaksi sosial, termasuk di dalamnya perubahan norma, nilai, dan fenomena cultural. Definisi lain yang bisa ditunjukkan, misalnya, konsep perubahan sosial sebagai munculnya varian-varian baru __ sebagai hasil modifikasi selama berlangsungnya proses sosial __dari bentuk-bentuk pola perilaku yang terstruktur. Malah ada lagi yang berani menggunakan konsep perubahan sosial ketika melihat ada perubahan-perubahan pada komunitas local tertentu. Herbert Blumer sebagiman dikutip Dwi Narwoko, melihat perubahan sosial sebagai usaha kolektif untuk menegakkan terciptanya kehidupan baru.[6]Menurut Ralp Tunner dan Lewis M. Killin yang juga di kutip oleh Narwoko dan Bagong, mengatakan bahwa perubahan sosial sebagai kolektivitas yang bertindak terus-menerus, guna meningkatkan perubahan dalam masyarakat atau kelompok.[7]
Perbedaan-perbedaan cara pemahaman konsep perubahan sosial di atas sudah tentu akan berpengaruh pada kajian-kajian substansi perubahan sosial, terutama yang bersangkut paut dengan perbedaan pada masalah-masalah berikut : (1) tingkat perubahan (makro-mikro); (2) kesinambungan (dan arah gerak perubahan dari mikro ke makro atau sebaliknya); (3) penyebab perubahan sosial (internal atau eksternal, berupa materi, atau ide, dan seterusnya); dan (4) persoalan langsung tidaknya perubahan sosial.

1.    Beberapa Teori Perubahan Sosial
Apapun definisinya, yang perlu diperhatikan adalah kenyataan bahwa setiap masyarakat selalu mengalami perubahan-perubahan. Termasuk pada masyarakat primitive dan masyarakat kuno sekalipun. Jadi, perubahan itu normal adanya, Kalau ada yang menganggap perubahan itu tidak normal, hal itu tidak lebih karena factor “traumatis”. Perubahan dinilai sebagai “siksaan”, “penuh krisis”, dan dicap sebagai usaha agen asing yang sudah tentu tidak dikehendaki. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa perubahan sosial itu merujuk kepada perubahan suatu fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia mulai tingkat individual hingga hingga tingkat dunia.
Berikut beberapa teori perubahan sosial  :
a.    Teori Evolusi Sosial
Sejak abad ke-16 filsafat sejarah Perancis telah mengemukakan suatu pemikiran bahwa umat manusia mengalami perkembangan melalui penahapan tertentu menuju suatu keadaan yang lebih baik. Sikap optimistis dan berbau moralis ini terus diyakini banyak orang meski telah terjadi peristiwa Revolusi Perancis. Keyakinan itu justru diperkuat dengan dasar rujukan legitimasi dan justifikasi baru, yakni teori evolusi biologi.[8]
Dalam teori ini masyarakat dan perkembangannya dianalogikan dengan organism dan pertumbuhan organik.Para Sosiolog memerlukan analogi ini untuk membuat analisis sosial. Menurut mereka ada beberapa kesamaan umum antara organism dan masyarakat, namun begitu mereka pun menyadariperbedaan antara keduanya. Lama kemudian analogi ini baru diterima secara harafiah dan sejak itu masyarakat dianggap sesuatu yang kongkrit, nyata, sebagai organism supra individual. [9]
Analogi organik terutama mengacu pada anatomi keadaan internal masyarakat. Baik organisme maupun masyarakat terdiri dari unsur-unsur yang dapat dilihat (sel,individu) yang tergabung dalam unit-unit yang lebih kompleks (organ, institusi) dan dipersatukan oleh jaringan hubungan tertentu (anatomi organik, ikatan sosial). Singkatnya, keduanya mempunyai struktur. Tetapi diakui, tipe integrasi structural keduanya berbeda. Organisme mempunyai tipe integrasi structural yang kuat dan ketat; tak satu bagianpun dapat dibayangkan ada yang terlepas dari keseluruhannya. Integrasi sosial dalam masyarakat jauh lebih longgar.;[10]
Dalam karya teoritis evolusi klasik, citra khusus mengenai perubahan sosial dan historis terbentuk secara bertahap. Meski ada perbedaan pandangan dikalangan tokohnya, namun semuanya menerima sejumlah asumsi umum yang menjadi inti teori evolusi, yaitu: (1) semua tokoh menganggap bahwa keseluruan sejarah manusia memunyai bentuk, pola, logika, atau makna unik yang melandasi banyak kejadian yang tampaknya serampangan dan tak berkaitan. Polanya itu dapat ditemukan dan dapat diketahui, dan tujuan teori evolusi adalah merekonstruksi polanya itu. Rekronstruksi itu akan meberikan pemahaman mengenai sejarah masa lalu dan membuka jalan untuk memprediksi sejarah masa depan; (2) objek yang mengalami perubahan adalah keseluruhan masyarakat, kemanusiaan. Objek ini dipandang sebagai kesatuan tunggal yang paling luas. Meskipun beberapa teori hanya memusatkan perhatian pada fragmen atau aspek tertentu dari masyarakat seperti agama, moral, atau teknologi, namun aspek itu berkembang bersama dengan keseluiruhan masyarakat, dan bahwa aspek itu hanya merupakan gejala saja dari evolusi sosial keseluruhan; (3) keseluruhan ini dipahami dengan istilah  organik, dengan menerapkan analogi organik, sebagai sebuah system yang terintegrasi secara ketat dari unsure-unsur dan subsistem; (4) perhatian dipusatkan kepada perubahan kesatuan oraganik itu, pada system sosial; (5) perubahan masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, terjadi dimana saja, niscaya dan merapakan ciri tidak terhindarkan dari realitas sosial. Jika terlihat setabilitas atau statmas, itu ditafsirkan bagai perubahan yang tertahan, terhalang dan dipandang sebagai perkecualian; (6) karena diterapakan sebagai kesatuan tunggal, maka masyarakat sebagai kesatuan yang mengalami perubahan evolusioner menyeluruh tiu dipandang sebagai proses menyeluruh yang dapat dibayangkan dan dikaji sebagai satu totalitas dengan mengabstraksikannya pada tingkat tertinggi; (7) perubahan masyarakat dipandang mengarah dan bergerak dari bentuk primitif ke bentuk yang berkembang, dari keadaan kacau ke keadaan teratur; (8) perubahan evolusi dibayangkan berpola unilinear, mengukuti pola atau lintasan tunggal; (9) lintasan evolusi ini terbagi dalam fase, atau periode berbeda, mengikuti rentetan, konstan dan tidak satu fasepun yang  dapat diloncati; (10) perubahan evolusi dianggap bertahap, terus-menerus, meningkat, dan kumulatif; (11) Evolusi mempunyai mekanisme penyebab yang sama yang menggerakkan proses kedepan; (12) tenaga pendorong ke arah perubahan terdapat di dalam “sifat” masyarakat, berasal dari kebutuhan dasarnya untuk terwujud dan berubah sendiri; (13) perubahan evolusi dianggap bersifat sepontan; (14) perubahan evolusioner dianggap sama dengan kemajuaa\n yang menghasilkan perbaikan bagi kehidupan manusia.[11]
b.    Teori Neo-evolusionisme
Teori ini dikembangkan oleh Talcott Parson yang bermula dari seminatr yang diselenggarakannya di Harvard Univecity pada tahun 1963. Parson dikenal sebagai a biologist masyarakat manusia tidak ubahnya organisme biologis dan karya karyanya banyak dikenal sebagai paradigma ini. Teori Person yang terkenal adalah teori tentang tindakan manusia. Tentang hal ini ia membedakan menjadi empat subsistem: organisme, kepribadian, system sosial, dan system keltural. Keempat unsure ini tersusun dalam uraian sibernetic (cybernic order) dan mengendalikan tindakan manusia.
Semua tindakan manusia ditentukan oleh keempat subsistem: system cultural, sosial, kepribadian, dan organisme. Sistem cultural merupakan sumber ide, pengetahuan, nilai, kepercayaan, dan symbol-simbol. System ini penuh dengan gagasan dan ide. Karena itu, kaya akan informasi, tetapi lemah dalam energy dan aksi. Aplikasi dari sistem kultural  yang kaya informasi tersebut ada pada sistem di bawahnya. System cultural memberikan arahan, bimbingan, dan pemaknaan terhadap tindakan manusia dalam system sosial. Untuk sampai pada bentuk tindakan manusia dalam system sosial. Untuk sampai pada tindakan nyata, kepribadian, system sosial berfungsi sebagai mediator terhadap system kultural. Artinya, symbol-simbol budaya diterjemahkan begitu rupa dalam system sosial ytang kemudian disampaikan kepada individu-individu warga sitem sosial melalui proses sosialisasi dan internalisasi.[12]
Tidak seperti prinsip teori evolusi sosial yang membagi perkemabangan masyarakat secara dikotomis, Parson-seperti halnya teoretisi neo-evolusi lainnya, menunjukkan adanya perkembangan masyarakat transisional. Menurut Parson, masyarakat akan berkembang melalui tiga tingakatan utama: (1) primitive; (2) intermediate; dan (3) modern. Dari tiga tahapan ini, oleh Parson dikembangkan lagi kedalam subklasifikasi evolusi sosial lagi sehingga menjadi lima tingkatan: (a) primitif; (b) advanced primitif and arcchaice; (c) historic intermediate; (d) seedbed societies; dan (e) modern societies. [13]
c.         Teori Lingkaran Sejarah
Pandangan teori ini mengenai proses sejarah berbeda dari teori lain yang berasal dari evolusionisme. Teori ini mencerminkan pandangan alternative mengenai sejarah. Sejarah dilihat sebagai proses berulang, bukan menurut garis lurus; potensinya ada kalanya dapat melema dan kembali ke awal proses, bukannya lebih baik  berkembang tanpa batas. Jadi, perubahan sosial dan historis dan tidak bergerak menurut garis lurus tetapi melingkar.
Seperti semua teori sejarah, teori ini berakar dari analogi yang berasal dari comon sense. Teori ini meninggalkan analogi pertumbuhan organik kaum evolusionis dan mulai bekerja dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari yang berulang dan naik turun.




[1]Suatu cara pandang konservatif yang menganggap, bahwa perubahan sosial sebagai suatu penyimpangan sosial. Mengembangkan masyarakat sebagai suatu tatanan yang penuh keseimbangan dan karenanya berada dalam kondisi stabil. Termasuk aliran konservatif ini adalah penganut paradigm struktur-fungsional. Dalam melihat perubahan yang terpenting memerhatikan struktur dari pada prowess, dan tepatnya ketika sampai pada analisis proses pun ternyata yang dikaji hanya kondisi structural yang sempit.
[2]Lihat J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta : kencana, 2006), 361
[3]Ibid., 361
[4] Ibid, 362
[5] Ibid., 362
[6] Ibid., 362-363
[7] Ibid., 363
[8]Adalah Charles Darwin yang pertama kali merumuskan teori evolusi. Hal ini dapat dilihat dari bukunya, On the Origin of Species. Namun unsur-unsur dan prinsip-prinsip teori evolusi telah banyak disinggung orang lain sebelum Darwin. Immanuel kant, misalnya, pernah membuat dugaan bahwa persamaan-persamaan dalam bentuk-bentuk alam yang hidup mungkin menunjuk kepada nenek moyang yang sama. Selain itu, prinsip tentang keturunan, juga sudah dikemukakan Lamark. Ia mengatakan bahwa pertalian dan kemiripan organisme alamiah satu sama lain adalah akibat adanya bentuk asli yang merupakan asal usul bersama, sedangkan jika terjadi perbedaan tidak lain karena perbedaan adaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Lihat Ibid., 364
[9] Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial,  Terj., ( Jakarta : Prenada, 2008), 115
[10] Ibid., 116
[11] Ibid
[12] J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: teks…., 370
[13] Ibid., 371